Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu sejalan dengan perkembangan rasa kebangsaan atau nasionalisme Indonesia. Karena itu bahasa Indonesia baru lahir pada awal abad 20. Dalam Sumpah Pemuda 1928 bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa persatuan. Dan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa Negara.
Lahirnya bahasa Indonesia dan sastra Indonesia ialah hasil pertemuan antara bahasa dan sastra Melayu dengan paham-paham yang berasal dari kebudayaan Eropa modern itu. Paham-paham dan bentuk-bentuk sastra Eropa modern seperti sonata, roman, esai, kritik dan cerita pendek kemudian banyak diikuti dan menemui perkembangan yang subur di Indonesia.
Sastra yang berkembang setelah pertemuan dengan kebudayaan Eropa dan mendapat pengaruh darinya itu disebut sastra modern; sedangkan yang sebelumnya dinamakan sastra klasik.
Beberapa orang penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi) sejarah sastra Indonesia. Meski di antara para ahli itu ada persamaan-persamaan menyolok dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indonesia, namun kalau diteliti lebih lanjut maka akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang menyolok juga, baik istilah maupun konsepsinya.
Babakan waktu yang akan dibahas dalam makalah ini adalah periodisasi 1942-1945.
PEMBAHASAN
1. Saat-saat yang Mematangkan
Dijajah Jepang selama tiga setengah tahun merupakan saat-saat yang penting dalam sejarah bangsa dan juga sastra Indonesia. Jepang mendukung diresmikannya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Indonesia dan mengajarkan bahasa Jepang di seluruh kepulauan dan dalam seluruh bidang kehidupan. Indonesia. Tentu saja maksud Jepang kemudian akan menggantikan bahasa Jepang sebagai bahasa persatuan di Indonesia. Tetapi karena waktu mereka di sini hanya tiga setengah tahun, maka besar keuntungannya untuk Indonesia. Sebelum diganti dengan bahasa Jepang, Jepang sudah kalah, dan bahasa Indonesia sudah tetap dan kuat kedudukannya.
Dengan makin intensifnya bahasa Indonesia dipergunakan dalam segala kehidupan di segenap kepulauan Nusantara, maka sastra Indonesia juga mengalami intensifikasi. Para pengarang beserta para seniman lainnya dikumpulkan Jepang di Kantor Pusat Kebudayaan dan dinamakan Keimin Bunka Shidosho. Pemusatan para seniman ini tentu saja tidak bisa lepas dari situasi perang dan maksud Jepang sendiri hendak menguasai Asia. Seniman-seniman dikerahkan untuk membuat lagu-lagu, lukisan-lukisan, slogan-slogan, sajak-sajak, sandiwara-sandiwara bahkan film-film dengan pesanan.
Banyak seniman yang keberatan, meski mula-mula uluran tangan Jepang itu disambut antusias namun kian lama kian banyak seniman yang terbuka matanya. Bahkan mereka yang mula-mula antusias sekali menerima kedatangan Jepang, kemudian mulai ragu dan was-was. Usmar Ismail misalnya. Sedangkan Chairil Anwar, Amal Hamzah, dan beberapa orang lagi yang sejak semula menaruh curiga kepada Jepang, mengejek para seniman yang berkumpul di Kantor Pusat Kebudayaan. Amal Hamzah menulis dua buah sandiwara yang keduanya sama-sama berisikan sindiran kepada seniman yang tunduk pada Jepang. Sandiwara berjudul ‘Tuan Amin’ yang merupakan sindiran kepada Armijn Pane yang pada saat itu sangat bersemangat dan menyokong Jepang dan menulis sandiwara-sandiwara pesanan sesuai dengan permintaan Jepang. Juga sandiwara berjudul ‘Seniman Pengkhianat’. Percakapan antara dua seniman itu mewakili dua dunia seniman. Yang satu seniman yang mau menjaga kemurnian ciptaannya karena itu menolak menjadi kacung Kantor Pusat Kebudayaan; sedangkan yang lain mengabdi pada Jepang, membuat sajak, lagu, cerita pendek, sandiwara sesuai dengan pesanan Jepang.
Pada masa penjajahan Jepang kita melihat kian banyak jumlah seniman yang menulis sajak, cerpen dan sandiwara. Situasi perang dan penderitaan lahir-batin dijajah Jepang telah memeatangkan jiwa bangsa kita. Juga pada masa inilah kita menyaksikan sastra Indonesia mengalami pematangan. Bahasa Indonesia bukan hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita atau rengekan-rengekan perasaan yang sangsai, tetapi menjadi alat pengucapan sastra yang dewasa.
Kehidupan morat marit dalam bidang ekonomi memaksa para pengarang Indonesia supaya belajar hemat dalam berkata-kata. Pun bidang perhatian dalam memilih materi buat menulis menjadi lebih sederhana. Yang menjadi perhatian para pengarang bukanlah lagi masalah yang pelik-pelik atau kehidupan yang rumit-rumit, melainkan kenyataan sehari-hari yang tampak pada mata-kepala karena terjadi di depan mata.
2. Para Penyair
Pada masa Jepang ini kita menyaksikan beberapa penyair muncul. Yang terpenting ialah Usmar Ismail, Amal Hamzah, dan Rosihan Anwar.
· Usmar Ismail. Ia menulis beberapa cerpen di antaranya Pancaran Cinta (1946) dan Gema Tanah Air (1948), dan sajak-sajaknya dikumpul dan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Puntung Berasap (1949). Dalam sajak-sajaknya yang permulaan terasa kepercayaan terhadap Jepang akan membawa kemerdekaan bagi Indonesia. Tetapi kemudian ia pun segera menemukan kekecewaannya. Dalam sajak ‘Diserang Rasa’ karangannya berisi rasa waswas dan ragu kepada kesungguhan janji dan semboyan Jepang.
· Amal Hamzah. Mulai menulis pada zaman Jepang. Ia seorang yang kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Juga dalam sandiwara-sandiwara dan cerita sketsa yang ditulisnya, sensualisme sangat kentara. Sajak-sajak dan karangan-karangan lainnya kembali diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul Pembebasan Pertama. Setelah itu ia lebih menaruh minatnya kepada menerjemahkan.
· Rosihan Anwar. Pada zaman Jepang menulis sejumlah sajak dan cerpen. Sajak-sajaknya banyak melukiskan perasaan dan semangat pemuda. Cerpennya yang berjudul ‘Radio Masyarakat’ menceritakan kemelut pemuda yang dilanda keraguan atas segala janji-janji kosong dari Jepang.
· Anas Ma’ruf pada zaman sesudah perang lebih terkenal sebagai organisator kebudayaan dan penerjemah. Ia menulis sejumlah sajak, esai dan kritik. Ia pun menerjemahkan karya-karya para pengarang dunia seperti Rabindrana Tagore, John Steinbeck, William Saroyan, dan lain-lain.
· M.S Ashar yang pada zaman Jepang menulis beberapa buah sajak menjadi terkenal karena sebuah sajaknya yang berjudul ‘Bunglon’
· Maria Amin. Penyair wanita zaman Jepang ini menggambarkan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sebagai ikan dalam akuarium yang dilukiskan dalam prosa liriknya ‘Tengoklah Dunia Sana’.
· Nursjamsu. Pada zaman Jepang menuliskan sejumlah sajak yang melukiskan hati yang diamuk remaja. Pada masa sesudah perang ia menulis cerpen antara lain yang berjudul ‘Terawang’ yang dimuat dalam majalah Gema Suasana (1948).
3. Cerita Pendek
Pada zaman Jepang ini cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa pengarang baru muncul. Juga diadakannya beberapa sayembara dalah majalah-majalah yang terbit saat itu seperti Pandji Poestaka, Djawa Baroe dan lain-lain cerpen diberi banyak tempat.
· Selain Usmar Ismail, H.B Jassin juga menulis cerpen. Salah satu cerpennya adalah ‘Anak Laut’, kemudian lahir beberapa cerpen dari pengarang lain diterbitkan secara bersama dengan judul Pancaran Cinta (1946). Pada masa sesudahnya, Jassin lebih mencurahkan perhatian kepada penulisan kritik dan esai sastra sambil menyelenggarakan dokumen sastra Indonesia modern.
· Bakri Siregar. Cerpennya yang pertama berjudul ‘Di Tepi Kawah’ mendapat hadiah pertama sayembara mengarang cerpen. Cerpen ini merupakan sebuah cerpen pelarian. Bersama-sama dengan beberapa cerpen lain yang ditulis Bakri pada masa pendudukan Jepang, kemudian ‘Di Tepi Kawah’ ini dibukukan dengan judul Jejak Langkah (1953). Cerpen-cerpen lain yang dimuat dalam buku itu pun semuanya menlukiskan kesepian dan pelarian dari dunia ramai disertai dengan humor yang berat dan tidak menarik.
Pada masa sesudah perang, Bakri masih juga menulis cerpen. Tetapi peranannya sebagai pimpinan Lembaga Seni Sastra Lekra lebih banyak dicurahkan kepada penulisan karangan-karangan yang berupa kritik, polemik , dan semacamnya. Ia juga menulis buku Sejarah Sastra Indonesia Modern (1964). Sekarang termasuk buku yang dilarang.
4. Drama
Penulisan drama pada zaman Jepang boleh dikatakan sangat subur. Hal itu disebabkan oleh kegiatan rombongan sandiwara yang berkumpul dalam Perserikatan Oesaha Sandiwara Jawa yang dipimpin oleh Armijn Pane.
Beberapa nama pengarang yang banyak membuat sandiwara pada zaman Jepang ialah Armijn Pane, Usman Ismail, Abu Hanifah, Idrus, Inu Kertapati, Kotot Sukardi, Amal Hamzah, dan lain-lain.
· Amal Hamzah menulis beberapa sandiwara yang berisi ejekan meleceh para seniman yang menjadi budak Jepang. Tentu saja tidak mungkin dimainkan pada saat itu!
· Armijn Pane menulis beberapa sandiwara yang kemudian dibukukan dengan judul Jinak-Jinak Merpati (1953).
· Usmar Ismail pada zaman Jepang menulis sandiwara kepahlawanan rakyat kepulauan Maluku yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda berjudul ‘Mutiara dari Nusa Laut’ lalu dimainkan oleh rombongan sandiwara penggemar ‘Maya’ yang dipimpinannya sendiri. Drama-drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan antara lain ‘Mekar Melati’ dan ‘Tempat yang Kosong’. Tiga drama karangan Usmar berhasil dibukukan dalam satu buku berjudul Sedih dan Gembira (1949) yaitu ‘Api’, ‘Liburan Seniman’, dan ‘Citra’. Dalam ‘Liburan Seniman’ Usmar mengemukakan cita-citanya mengenai sandiwara pada masa itu. Drama ‘Citra’ mengisahkan kejadian di sebuah perkebunan, tetapi yang menonjol di dalamnya adalah menangnya pihak yang baik (Sutopo) terhadap kaum yang anarkis (Harsono). Dalam drama ‘Api’ moral baik sekali lagi menang terhadap moral buruk dan jahat. Oleh pengarangnya sendiri dikatakan bahwa drama ini merupakan ‘perjuangan melawan yang keji dan jahat”.
· Abu Hanifah (memakai nama samaran El Hakim) menulis beberapa buah drama yang kemudian dibukukan berjudul Taufan di Atas Asia (1949). Di masa sesudah merdeka, ia masih menulis dua buah drama lagi, yaitu ‘Rogaya’ dalam empat babak dan ‘Mambang Laut’ tiga babak. Keduanya belum pernah dibukukan. Dalam drama-drama karangan El Hakim terasa dasar-dasar agama Islam dan kecenderungan memilih Timur dalam pertarungan antara Timur dan Barat yang dianggapnya sebagai pertentangan antara Idealisme dan Materialisme.
· Idrus pada zaman Jepang menulis beberapa buah drama, antaranya ‘Kejahatan Membalas Dendam’ yang melukiskan perjuangan pengarang muda menghadapi pengarang kolot dengan kemenangan di pihak pengarang muda, meskipun pengarang si pengarang kolot hendak memakai guna-guna segala.
Kotot Sukardi menulis sandiwara ‘Bende Mataram’ yang berlatar belakang masa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwara ini kemudian dibukukan oleh Balai Pustaka bersama-sama dengan karangan sandiwara pula oleh Inu Kertapati berjudul ‘Sumping Sureng Pati’ yang mengambil latar belakang peristiwa sejarah denganlatar kejadiannya di Bali ketika Belanda menyerbu ke sana. Buku ini diberi judul Bende Mataram.PENUTUP
Pada periode ini terbagi menjadi dua masa, yaitu masa Jepang dan sesudah kemerdekaan.
Beberapa karya sastra yang menonjol pada periode 1942-1945 adalah berupa cerita pendek dan drama. Beberapa penyair yang menonjol pada periode ini adalah Usmar Ismail, Amal Hamzah, Rosihan Anwar, H.B Jassin, Armijn Pane, Abu Hanifah dan lain-lain. Kebanyakan isi dari karya-karya para pengarang, baik cerpen maupun drama, melukiskan keragu-raguan dan waswas terhadap janji Jepang mengembalikan kemerdekaan Indonesia.