A. Sejarah Sastra Bali
Seperti kesusastraan pada umumnya, sastra Bali ada yang diaktualisasikan dalam bentuk lisan (oralty) dan bentuk tertulis (literary). Menurut kategori periodisasinya, kesusastraan Bali ada yang disebut Sastra Bali Purwa dan Sastra Bali Anyar. Sastra Bali Purwa merupakan sastra Bali yang diwarisi secara tradisional dalam bentuk naskah-naskah lama. Sedangkan Sastra Bali Anyar adalah karya sastra yang diciptakan masyarakat Bali yang telah mengalami modernisasi, atau biasa disebut sastra modern.
Sastra Bali sebelum dikenal adanya kertas di Bali, umumnya ditulis di atas selembar daun lontar. Karena ditulis di atas daun lontar, "buku sastra" ini disebut dengan "lontar". Memang ada bentuk tertulis lainnya, seperti prasasti, dengan menggunakan media seperti batu dan lempengan tembaga, namun tidak terdapat karya sastra Bali yang ditulis di atas bilah bambu, kulit binatang, katu, dan kulit kayu. Belakangan setelah dikenal adanya kertas, penulis karya sastra Bali menuliskan karyanya di atas kertas, bahkan sudah banyak yang diketik.
B. Bentuk-bentuk Kesusastraan Bali
Menurut bentuknya, kesusastraan Bali dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Tembang (puisi)
Di Bali terdapat berbagai jenis tembang yang mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda-beda. Masyarakat Bali membedakan tembang menjadi empat kelompok, yaitu:
a) Gegendingan
Gegendingan adalah sekumpulan kalimat bebas yang dinyanyikan. Isinya pada umumnya pendek dan sederhana. Dikatakan bebas karena benar-benar tidak ada ikatannya. Antara tiap kalimat tidak harus mempunyai arti yang membentuk pengertian. Ada tiga jenis gegendingan, yaitu:
(a) Gending Rare atau Sekar Rare, mencakup berbagai jenis lagu anak-anak yang bernuansa permainan. Jenis tembang ini umumnya memakai bahasa Bali sederhana, bersifat dinamis dan riang, sehingga dapat dilakukan dengan mudah dalam suasana bermain dan bergembira. Beberapa contoh tembang adalah Meong-meong, Juru Pencar, Ongkek-ongkek Ongke, Indang-indang Sidi, Galang Bulan, Ucung-ucung Semanggi, Pul Sinoge, dan lain-lain.
(b) Gending Sanghyang dinyanyikan untuk menurunkan (nedunang) Sanghyang-sanghyang, misalnya pada prosesi budaya peninggalan zaman pra-Hindu dalam tarian sakral Sanghyang yang meliputi Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang Jaran, Sanghyang Bojong, Sanghyang Celeng, Sanghyang Sampat, dan sebagainya.
(c) Gending Jejanggeran ini sama dengan Gending Rare dan biasanya dinyanyikan secara bersama-sama dan saling sahut-menyahut satu sama lain. Contoh Gending Jejanggeran yaitu Putri Ayu, Siap Sangkur, Mejejangeran, dan lain-lain.
b) Sekar Rare lagu anak-anak maupun rakyat
Kelompok sekar alit yang biasa disebut tembang macapat, gaguritan, atau pupuh terikat oleh hukum padalingsayang terdiri dari guru wilang dan guru dingdong. Guru wilang adalah ketentuan yang mengikat jumlah baris pada setiap satu macam pupuh (lagu) serta banyaknya bilangan pada setiap suku kata pada setiap barisnya. Guru dingdong adalah uger-uger yang mengatur jatuhnya huruf vocal pada tiap-tiap akhir suku kata.
c) Sekar Madya/Kekidungan
Yang meliputi jenis-jenis lagu pemujaan, umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Kelompok tambang yang tergolong sekar madya pada umumnya mempergunakan bahasa Jawa Tengah, yaitu seperti bahasa yang diergunakan di dalam lontar/ cerita panji atau Malat dan tidak terikat oleh guru lagu maupun padalingsa.
d) Sekar Agung atau Tembang Gede
Meliputi lagu-lagu berbahasa kawi yang diikat oleh hukum guru lagu. Pada umumnya dinyanyikan dalam kaitan upacara, baik upacara adat maupun agama. Jenis tembang bali yang termasuk dalam kelompok Sekar Agung ini adalah kakawin. Kakawin adalah puisi bali klasik yang berdasarkan puisi dari bahasa jawa kuno. Masyarakat Bali mengenal banyak jenis kakawin seperti: Aswalalita, Wasantatilaka, Tanukerti, Sardulawikradita, dan lain-lain.
2. Gancaran (Prosa)
Gancaran biasa ditulis dalam bentuk syair atau tembang. Gancaran adalah karangan yang tidak bersajak. Contoh:
· Mahabarata oleh Bhagawan Byasa
· Satua Ni Diah Tantri oleh I Made Pasek
· Tunjung Mekar oleh I Ketut Sukrata
· Miwah Sane Lian
Prosa bali terdiri dari:
1. Puisi
Puisi bali terdiri dari dua bagian yaitu puisi bali modern dan puisi bali klasik. Puisi bali modern yang pertama kali muncul strukturnya sangat jauh berbeda dengan struktur puisi bali klasik. Sebaliknya sangat dekat dengan kuatrin bebas puisi Indonesia modern. Agar perbedaan struktur itu jelas saya bandingkan puisi tersebut dengan sebuah puisi bali klasik.
BASA BALI
Tan uning titian ring karanipun
Sukseman titiange sekadi kategul antuk benang sutra
Ngeranjing manyusup tulang ngatos kasumsum
Sane dados bagian awak titiange
Sareng maurip saking ayunan ngatos kelih
Saduke ngipi, mamanah tur ngamedalang rasa
Ring sajroning basa ibu
Manang titiange sampun kelih atuk cayane
Maborbor sukseman titiange antuk cayane
Titian manggihin pribadin titiange
Titiang mangubugan ring masyarakat
Terus masemetonan ring sawitra
Baktin titiange ring rerama anten ja kirang
Kasih-kasihan sareng alite-alite
Sane encen kirang terang kapikayun
Titian nyelipang raos anyar
Anggen titang payas sane cocok ring kala puniki
Ku panggih rupanipun ngenyagang manah
Guling kidang gulik celepuk
Nasi anget mabe guling
Uling pidan tuara ketepuk
Bilang inget Makita ngeling.
Kutipan pertama ialah puisi bali modern karya Sunantri Pr., yang muncul pertama kali tahun 1959, sedangkan kutipan kedua adalah sebuah paparikan, salah satu bentuk puisi bali klasik.
2. Novel dan cerpen
Novel dan cerpen dalam sastra bali modern mengungkapkan perkembangan baru yang telah begitu pesat. Aktivitasnya pada umumnya tampak karena ada rangsangan dan dorongan berupa sayembara. Cerpen lebih berkembang daripada novel karena lebih sering diadakan sayembara.
Contoh novel bali modern:
a. Sunari oleh Ketut Rida
b. Lan Jani oleh Nyoman Manda
c. Buah Sumagene Kuning-kuning oleh Tri Jayendra
3. Palawakia (prosa liris)
Prosa liris adalah bentuk prosa yang terpengaruh oleh puisi. Contoh dari Palawakia ini adalah drama. Antara drama dan sastra sangat erat hubungannya. Hampir semua drama di Bali berasal dari khasanah sastranya.
Munculnya drama dalam sastra Bali merupakan hasil ciptaan langsung sebagai karya pentas. Tidak ada drama yang merupakan hasil olahan karya sastra seperti novel. Hal ini disebabkan karena sangat sedikitnya karya prosa dalam sastra Bali.
Drama dalam kesusastraan Bali terbagi atas 2, yaitu drama Bali klasik dan modern. Unsur-unsur drama Bali klasik dapat kita lihat dari segi cerita dan suasana cerita , ilustrasi dan beberapa aspek gerak. Sedangkan unsur-unsur drama Bali modern terletak pada dialog dan tata lampu atau dekorasi.
Ditinjau dari struktur umumnya, drama Bali modern belum ada yang mengambil bentuk drama kontemporer. Namun dasar strukturnya jelas berasal dari drama sastra Indonesia modern. Hal ini dapat kita lihat melalui teknik adegan, dialog, dan petunjuk mengenai suasana. Aspek yang banyak terdapat dalam drama Bali klasik sudah tak ada lagi.