Laman

Mengenai Saya

Foto saya
Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia

Senin, 11 Juli 2011

Kalimat

PENDAHULUAN

Secara hierarkis, kalimat merupakan satuan klausa di bawah tataran wacana. Kalimat merupakan konstituen wacana atau pembentuk wacana. Dan disepakati bahwa kalimat sebagai satuan sintaksis terbesar setelah frasa dan klausa. (Dola, 2010:14, 76)
Berbicara mengenai kalimat, kita akan diingatkan kembali pada satuan-satuan bahasa yang telah kita ketahui sebelumnya. Sekedar mengingatkan, satuan bahasa (linguistic unit) merupakan bentuk lingual yang merupakan komponen pembentuk bahasa. Menurut Kridalaksana (1982) membedakan satuan bahasa menjadi: (1) Morfem, (2) Kata, (3) Frasa, (4) Klausa, (5) Kalimat, (6) Gugus Kalimat, (7) Paragraf, dan (8) Wacana. Konstituen kalimat berada pada tataran ke-5.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), kalimat adalah kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan; perkataan; satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual ataupun potensial terdiri atas klausa. Kalimat merupakan satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir dan terdiri atas klausa (Cook, 1971; Elson dan Pickett, 1969). Kalimat adalah suatu bentuk linguistis, yang tidak termasuk ke dalam suatu bentuk yang lebih besar karena merupakan suatu konstruksi gramatikal (Bloomfield, 1955). Senada dengan Bloomfield, Hockett (1985) menyatakan bahwa kalimat adalah suatu konstitut atau bentuk yang bukan konstituen; suatu bentuk gramatikal yang tidak termasuk ke dalam konstruksi gramatikal lain. Di sisi lain, Lado (1968) mengatakan bahwa kalimat adalah satuan terkecil dari ekspresi lengkap. Pendapat Lado dipertegas lagi oleh Sutan Takdir Alisyahbana (1978) yang mengatakan bahwa kalimat adalah satuan bentuk bahasa yang terkecil, yang mengucapkan suatu pikiran yang lengkap. Sementara itu, Ramlan (1996) mengatakan bahwa kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik.
Setiap kalimat selalu mengandung dua bagian yang saling mengisi. Bagian yang saling mengisi itu harus dapat memberikan pengertian yang dapat diterima, logis. Selalu ada yang dikemukakan yang diikuti oleh bagian yang menerangkan atau memberikan sesuatu tentang yang dikemukakan itu. Bagian yang dikemukakan itu dalam bahasa biasa disebut subjek dan bagian yang menerangkan itu disebut predikat (Badudu, 1999; Burton-Robert, 1997; Putrayasa, 2001, 2006, 2007).
Kalimat, merupakan materi lanjutan setelah kita memahami seluk beluk mengenai konstituen-konstituen pembentuk kalimat, yakni frasa dan klausa. Memahami kalimat merupakan hal yang mutlak untuk kita pahami, karena kalimat akan selalu muncul dalam pertuturan sehari-hari, baik secara lisan maupun tulisan. Bahkan, pemakaian kalimat sebenarnya sudah ada sejak tata bahasa tradisional.
Untuk pembahasan lebih lanjut, ada beberapa garis besar yang perlu dibahas lebih mendalam. Garis-garis besar itu antara lain:
a.       Bagaimanakah hakikat kalimat dalam kacamata kegramatikalan?
b.      Apakah bagian-bagian kalimat itu?
Kedua pertanyaan di atas akan dibahas lebih rinci pada bagian selanjutnya.

PEMBAHASAN
A. Hakikat Kalimat
Dalam pandangan gramatikal, yang menganggap, yang menganggap tata bahasa sebagai subsistem yang hierarkis, kalimat merupakan hanya salah satu satuan yang tetap terikat pada satuan yang lebih besar, atau dapat berdiri sendiri. Secara relatif, ada kemungkinan satuan yang lebih besar kalimat itu berdiri sendiri, mempunyai intonasi final, secara aktual dan potensial terdiri atas klausa.  Hal ini sejalan dengan pendapat Cook (1959) yang mengemukakan 3 ciri-ciri esensial kalimat, yakni:
a.       Kalimat itu terisolasi secara relatif,
b.      Kalimat itu memiliki intonasi akhir, dan
c.       Kalimat itu tersusun dari klausa-klausa.
Telah dipaparkan di Bab sebelumnya mengenai hakikat kalimat menurut beberapa ahli, bahwa kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang berupa klausa, yang dapat berdiri sendiri dan mengandung pikiran lengkap.
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya.
Setiap kalimat selalu mengandung dua bagian yang saling mengisi. Bagian yang saling mengisi itu harus dapat memberikan pengertian yang dapat diterima, logis. Selalu ada yang dikemukakan yang diikuti oleh bagian yang menerangkan atau memberikan sesuatu tentang yagn dikemukakan itu. Bagian yang dikemukakan itu dalam bahasa biasa disebut subjek dan bagian yang menerangkan itu disebut predikat (Badadu, 1999; Burton-Robert, 1997; Putrayasa,2001,2006,2007).
Kalimat merupakan hubungan dua kata atau lebih yang paling renggang. Renggangnya hubungan kata yang membangun suatu kalimat bisa dibalik susunannya tanpa membawa perubahan arti. Kalimat dapat dijelaskan sebagai satuan kata terkecil yang mengandung pengertian lengkap.
Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!). Tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru sepadan dengan intonasi akhir, sedangkan tanda baca lain sepada dengan jeda. Spasi yang mengikuti tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru melambangkan kesenyapan.
Kalimat merupakan satuan dasar wacana. Artinya, wacana hanya akan terbentuk jika ada dua kalimat, atau lebih, yang letaknya berurutan dan berdasarkan kaidah kewacanaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal penting berkenaan dengan konsep kalimat, yaitu konstituen dasar dan intonasi final. Konstituen dasar biasanya berupa klausa. Kalau pada sebuah klausa diberi intonasi final, maka terbentuklah sebuah kalimat.


B. Bagian-Bagian Kalimat
a.      Kalimat dan Klausa
Baik klausa maupun kalimat merupakan konstuksi sintaksis yang mengandung unsur predikasi. Dilihat dari segi struktur internalnya, kalimat dan klausa keduanya terdiri atas unsur predikat dan subjek dengan atau tanpa  objek, pelengkap, atau keterangan. Contoh:
              i.      Tangannya tergores (subjek + predikat)
            ii.      Shinta menanam pohon (subjek + predikat + objek)
          iii.      Mereka sudah memahami pembahasan mengenai frasa (subjek +        predikat + pelengkap)
          iv.      Aku melihatnya di ujung jalan (subjek + predikat + keterangan)
Bentuk-bentuk di atas sering diacu sebagai kalimat dan juga sebagai klausa bergantung pada cara memandangnya. Bentuk-bentuk itu disebut klausa jika cara pandangnya didasarkan pada struktur internalnya. Setiap konstruksi sintaksis yang terdiri atas unsur subjek dan predikat (tanpa memperhatikan intonasi atau tanda baca akhir) adalah klausa. Contoh di atas juga bisa disebut kalimat jika kita melihat adanya unsur-unsur subjek-predikat lengkap dengan intonasi atau tanda baca akhir.
Ada pula konstruksi sintaksis yang mengandung dua unsur predikat atau lebih. Dalam hal demikian, konsep kalimat dan klausa terasa perlu dibedakan. Sebagai contoh:
              i.      Khaerul meninggalkan rumah.
            ii.      Akhwan sedang mencuci piring.
          iii.      Khaerul meninggalkan rumah ketika Akhwan sedang mencuci piring.

Ketiga konstruksi di atas merupakan kalimat karena masing-masing tidak menjadi bagian dari konstruksi yang lebih besar. Kalimat (i) terdiri atas satu klausa; kalimat (ii) juga terdiri atas satu klausa. Pada (iii) terdapat dua klausa. Klausa yang terakhir ini merupakan bagian dari konstruksi sintaksis lebih besar, yaitu klausa. Klausa Khaerul meninggalkan rumah lazim disebut klausa utama atau induk kalimat, sedangkan klausa ketika Akhwan sedang mencuci piring disebut klausa subordinatif atau anak kalimat. Sementara itu, kalimat (i) dan (ii), yang masing-masing terdiri atas satu klausa, disebut kalimat tunggal, sedangkan kalimat (iii), yang terdiri dari dua klausa, disebut kalimat majemuk.

b.      Konstituen Kalimat
Kalimat merupakan konstuksi sintaksis terbesar yang terdiri atas dua kata atau lebih. Ini berarti bahwa kalimat merupakan satuan terbesar untuk pemerian sintaksis dan kata yang terkecil. Di antara kalimat dan kata biasanya ada satuan antara yang berupa kelompok kata. Satuan-satuan yang membentuk suatu konstruksi disebut konstituen konstruksi.
Salah satu cara untuk menyatakan struktur konstituen kalimat adalah dengan menggunakan diagram. Seperti konstituen kalimat Anak presiden sedang berlibur ke Seoul dapat dinyatakan dalam bentuk bagan berikut.
Anak presiden sedang berlibur ke Seoul
 
Anak presiden
sedang berlibur
ke Seoul
Anak
presiden
sedang
berlibur
ke
Seoul
 








c.       Unsur Wajib dan Unsur Takwajib
Telah disinggung sebelumnya, kalimat minimal mengandung dua unsur kalimat (fungsi sintaksis), yakni subjek dan predikat. Kedua unsur kalimat itu merupakan unsur yang kehadirnya selalu wajib. Di samping kedua unsur itu, dalam suatu kalimat kadang-kadang ada kata atau kelompok kata yang dapat dihilangkan tanpa mempengaruhi status bagian yang tersisa sebagai kalimat, tetapi ada pula yang tidak. Sebagai contoh:
Rupanya Amri menolong seorang nenek kemarin sore.

Kalimat di atas terdiri atas 5 konstituen. Dalam kelima konstituen itu, ada beberapa kata yang dapat dihilangkan tanpa memengaruhi status bagian yang tersisa sebagai kalimat, sedangkan ada pula yang tidak. Berikut ini adalah analisis kalimat di atas:
              i.      Amri menolong seorang nenek kemarin sore.
            ii.      Rupanya Amri menolong seorang nenek.
          iii.      Amri menolong seorang nenek.
          iv.      *(Rupanya) menolong seorang nenek (kemarin sore).
            v.      *(Rupanya) Amri seorang nenek (kemarin sore).
          vi.      *(Rupanya) Amri menolong (kemarin sore).

Berdasarkan analisis di atas, dapat dibedakan unsur kalimat atas unsur wajib dan takwajib. Unsur wajib terdiri atas konstituen kalimat yang tidak dapat dihilangkan, sedangkan unsur takwajib terdiri atas konstituen kalimat yang dapat dihilangkan.

d.      Keserasian Unsur-Unsur Kalimat
Penggabuan dua kata atau lebih dalam satu kalimat menuntut adanya keserasian di antara unsur-unsur tersebut. Berdasarkan hal itu, keserasian itu dikemukakan dari dua segi, yaitu dari segi makna dan dari segi bentuk.
              i.      Keserasian Makna
Konstruksi kalimat seperti
(1) Telur itu melempari anak presiden.
(2) Bukunya menangis tersedu-sedu.

Pada dasarnya, orang membuat kalimat berdasarkan pengetahuannya tentang dunia yang ada di sekelilingnya sehingga kedua konstruksi kalimat di atas dianggap mustahil dan tidak diterima sebagai kalimat.
Keanehan bentuknya timbul karena verba melempari dan menangis menuntut nomina orang sebagai pelaku atau subjeknya. Sudah menjadi kenyataan bahwa telur itu dan bukunya bukan nomina orang mengakibatkan untaian itu terasa aneh, mustahil, bahkan tidak berterima.
Namun, keanehan juga bisa timbul dalam konstruksi kalimat yang di dalamnya dilandasi oleh faktor budaya suatu bangsa. Contohnya:
(1) Bu Riska menceraikan suaminya.
(2) Ana akan menikahi Geovanni besok.

Verba menceraikan dan menikahi dalam budaya Indonesia umumnya menuntut pelaku seorang pria sehingga kedua kalimat di atas terasa kurang tepat untuk dipakai karena alasan budaya.
            ii.      Keserasian Bentuk
Konstruksi kalimat seperti
(i) Pelamar banyak, tetapi mereka tidak memenuhi syarat.
(ii) Pelamar banyak, tetapi dia tidak memenuhi syarat.

(iii) Pelamar ada, tetapi mereka tidak memenuhi syarat.
(iv) Pelamar ada, tetapi dia tidak memenuhi syarat.

Pronominal dia tidak bisa digunakan sebagai penggantinya.  Pada (iii) dan (iv) tampak bahwa pronominal mereka dan dia dapat digunakan karena antesedennya (ada) pelamar tidak jelas bermakna jamak atau tunggal. Pemakaian pronomina mereka atau dia pada (iii) dan (iv) itu bergantung pada konteks wacana.
Pada konstruksi pemilikan yang unsur-unsurnya terdiri atas pronominal milik yang berupa nomina jamak perlu diperhatikan apakah nomina milik itu merupakan milik  bersama atau perseorangan. Apabila pemilikan itu bersifat perseorangan, maka pronominal yang digunakan adalah pronominal persona ketiga jamak yang harus diikuti pertikel masing-masing. Perhatikan contoh berikut.
a. murid-murid itu menyelesaikan tugas mereka pada waktunya.
b. murid-murid itu menyelesaikan tugas mereka masing-masing pada         waktunya.
Dalam bahasa Indonesia terdapat sejumlah verba yang menuntut nomina jamak sebagai subjek. Verba demikian biasanya berafiks ber-an.
a. pasukan itu berlarian ketika mendengar pesawat terbang mendekat.
b. kedua anak itu bertengkar.
Verba bersubjek jamak dapat pula digunakan untuk menyatakan makna jamak nomina tak definit seperti berikut.
a. Kicau burung bersahutan sepanjang pagi.
b. Mahasiswa mengerumuni dia.
c. Kendaraan lalu lalang di depan rumahnya.
Ada pula contoh kalimat yang predikatnya berupa adjektiva yang diulang seperti contoh berikut ini.
a. Anak di sini pintar-pintar.
b. Rumah di kampung itu bagus-bagus.
c. Buku di toko itu mahal-mahal.

PENUTUP
Kalimat, merupakan materi lanjutan setelah kita memahami seluk beluk mengenai konstituen-konstituen pembentuk kalimat, yakni frasa dan klausa.
Mengenai hakikat kalimat dalam kacamata kegramatikalan, kalimat dianggap sebagai satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan maupun tulisan, yang mengungkapkan pikiran utuh. Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat dua hal penting berkenaan dengan konsep kalimat, yaitu konstituen dasar dan intonasi final. Konstituen dasar biasanya berupa klausa. Kalau pada sebuah klausa diberi intonasi final, maka terbentuklah sebuah kalimat.
Bagian-bagian kalimat dibedakan atas empat, yaitu kalimat dan klausa, konstituen kalimat, unsur wajib dan unsur takwajib, dan keserasian unsur-unsur kalimat –dibedakan atas dua: keserasian makna dan keserasian bentuk.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990.. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dola, Abdullah. 2010. Tataran Sintaksis dalam Gramatikal Bahasa Indonesia. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Patombongi, Andi Wardihan. 2010. Bahan Ajar Pengantar Linguistik. Makassar.
Putrayasa, Ida Bagus. 2009. Jenis Kalimat Dalam Bahasa Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar